Rabu, 23 Juli 2008



INI MERUPAKAN HIMBAWAN SUPAYA SELALU BERSIKAP SOPAN DAN SANTUN WALAU INI HANYA DI DUNIA MAYA KESOPANAN ITU PERLU DI JAGA KHUSUSNYA TEMAN KERABAT KU SEMUA DI TKJ PALANGKARAYA

Minggu, 20 Juli 2008


inilah wajah kami yang di pedalaman jd jangan lah lupa dengan perjuaangan kami membela tambun bungai yang kita cintai ini itu sebabnya belajar yg tekun dan jangaan terlena. inilah kami orang dayak walaupun km dianggap terbelakang,tetapi kami selalu terdepan dalam perjuangan/membela tanah air inilah wajah asli kami .....................

Jumat, 18 Juli 2008




Legenda Liang Saragi
Tidak banyak orang tahu mengenai legenda Liang Saragi. Legenda asal Kalimantan Tengah yang nyaris terlupakan itu dipertunjukkan dalam bentuk drama tari di Jakarta, baru-baru ini. Sebuah pertunjukan yang berisi petuah yang mengingatkan warga pendatang untuk selalu menjunjung tinggi dan taat pada aturan setempat.

Cerita dimulai ketika Kerajaan Tumpuk Lusun Bumi Manang Menuh sedang sibuk mencari jodoh bagi sang tuan puteri. Dari sekian banyak pria di desa itu, tidak ada satupun yang berkenan di hati Putri Layu Turus Riwut Pasang Angin. Entah apa yang menyentuh hati Putri Layu. Ia justru memilih pria miskin bernama Saragi.

Singkat cerita, Saragi yang yatim berhasil memenuhi semua persyaratan yang diajukan raja. Bersama ibunya, Saragi dibawa ke istana. Ia dan Putri Layu kemudian melangsungkan pernikahan meriah. Beberapa raja dan pangeran dari negeri tetangga diundang untuk menghadiri pesta pernikahan.

Saat pesta berlangsung, Kerajaan Tumpuk Lusun Bumi Manang Menuh dijatuhi kutukan. Azab itu datang ketika para pemuda pesaing yang datang dari luar kerajaan melanggar perintah raja. Mereka mencemooh Saragi. Kerajaan yang tadinya megah akhirnya hancur diterjang bencana dan berubah menjadi gua dan lautan air.

Saragi selamat namun tidak begitu dengan istrinya. Setelah bencana berakhir, Saragi terus mencari Putri Layu Turus Riwut. Namun, pencarian tidak juga berhasil. Bahkan Saragi tersesat di sebuah goa yang kemudian dikenal dengan nama Liang Saragi.

Pada akhirnya, pasangan ini dipertemukan kembali berkat pertolongan gaib yang dilakukan oleh Suku Dayak. Saragi dan Putri Layu Turus Riwut Pasang Angin kembali bersatu setelah melalui proses reinkarnasi






MASYARAKAT Dayak Taboyan dan Dayak Dusun Bayan di Kalimantan Tengah
memiliki upacara adat yang sangat sakral. Upacara tersebut dinamakan
wara. Sedangkan bagi masyarakat Dayak Ma'anyan dinamakan ijambe, atau
tiwah bagi masyarakat Dayak Ngaju. Meski terdapat banyak sebutan,
upacara sakral ini mirip dengan upacara ngaben yang biasa dilakukan
masyarakat Hindu di Bali.

Upacara ini bagi penganut agama Hindu Keharingan di Kalimantan Tengah
merupakan salah satu dari sekian banyak upacara adat yang memiliki
nilai ritual dan sakral yang sangat tinggi, khusus yang ditemui dalam
upacara adat kematian.

Masyarakat Dayak membedakan manusia dalam tiga dimensi siklus, yaitu
manusia sebelum lahir, manusia setelah lahir yang dinamakan alam
kehidupan (dunia) dan manusia setelah kehidupan (alam surga atau
syurga loka). Siklus ini selalu ditandai dengan berbagai upacara adat
yang berurutan sejak seorang manusia masih dalam kandungan hingga
setelah meninggal dunia.

Upacara wara ini dimulai dengan pemukulan gong tujuh kali yang disebut
gendering titi (genderang pengantar). Upacara ini dilakukan ketika
jasad manusia terpisah dengan roh.

Pemukulan gong tersebut dilakukan selain untuk memberitahukan warga
juga sekaligus memanggil roh para leluhur agar menjemput roh yang baru
meninggal tadi. Roh dalam bahasa Dayak Taboyan dan Dayak Dusun Bayan
disebut liyau.

Acara berikutnya diteruskan dengan memberikan sesajen kepada roh yang
baru meninggal dunia dan kepada roh yang menjemputnya. Sesajen yang
disebut makan liyau ini berupa tujuh jenis makanan. Jumlah ini tidak
boleh lebih dan tidak boleh kurang.

Setelah itu acara dilanjutkan dengan upacara pemakaman yang disebut
ngogang atau dalam masyarakat Dayak Ma'anyan disebut (ipasar). Maksud
upacara ini untuk mengembalikan jasad manusia yang berasal dari tanah
ke dalam tanah. Upacara ini dilakukan sejak dari rumah duka hingga ke
pemakaman.

Sejak seseorang meninggal dunia hingga hari ketujuh, di rumah duka
dinyalakan lampu yang disebut apui (api). Lampu ini tidak boleh padam
atau digantikan dengan lampu lainnya. Selama itu pula pada saat
menjelang matahari terbenam, keluarga yang ditinggalkan menghantarkan
sesajen ke pemakaman dengan menggunakan ancak yaitu tempat sesajen
terbuat dari anyaman bambu.

Selama apui dinyalakan, keluarga dan masyarakat desa berkumpul di
rumah duka. Acara ritual tersebut untuk menghibur kepada keluarga yang
sedang berduka. Pada saat itu pula diselenggarakan acara usik liyau
(guyonan).

Biasanya usik liyau ini berupa saling lempar, saling siram atau bentuk
lainnya. Namun tetapi tidak boleh ada peserta yang marah. Jika ada
yang marah, maka yang bersangkutan akan terkena utang (denda) berupa
kewajiban membayar sejumlah tertentu menurut keputusan demang atau
mantir (sejenis dewan adat desa). Denda juga diberlakukan bagi siapa
saja yang melakukan perbuatan atau ucapan yang melanggar adat.

Usik Liyau ini juga dapat berupa permainan judi-judian (usik) yang
taruhannya dalam satuan tujuh -- tujuh sen hingga tujuh ringgit (namun
sekarang sekitar Rp7 ribu). Dalam permainan usik ini, siapa pun yang
menang atau kalah, wajib menyerahkan uangnya kepada keluarga yang
sedang berduka.

Pada hari ketujuh atau hari terakhir pemberian sesajen, ditandai
dengan acara adat yang dinamakan mijom apui (mematikan lampu). Upacara
ini merupakan upacara adat terakhir tahap pertama dari upacara
kematian masyarakat Dayak Kaharingan.

Tahap berikutnya dari upacara kematian ini yaitu upacara (ngalangkang]
yaitu upacara mengantar sesajen ke makam. Upacara ini biasanya
dilakukan setelah panen dan berlangsung selama dua hari. Dalam upacara
ini terdapat pula acara usik liyau.

Beberapa tahun kemudian, bila keluarga tersebut memiliki kemampuan
ekonomi, diselenggarakan tahap akhir dari upacara wara ini.

Menurut kepercayaan masyarakat Dayak yang memeluk agama Hindu
Keharingan upacara ini memiliki nilai ritual tertinggi dibandingkan
dengan upacara adat sebelumnya. Dalam upacara ini, roh yang sebelumnya
menunggu di Gunung Lumut -- salah satu tempat yang dianggap sakral
oleh masyarakat Dayak di pedalaman sungai Tewei (Teweh) -- dipanggil
kembali untuk menerima sesajen dan pensucian sebelum dihantar ke
syurga loka (tempat suci).

Wara yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam ini, pada intinya
terdiri dari pemberian sesajen, no'ok liyau (pemanggilan roh) oleh
balian wara bersama dengan tujuh orang kandong (pembantu balian).
Acara adat ini diakhiri dengan menghantar kembali roh tersebut ke
Gunung Lumut.

Ada lagi wara kedua yang biasanya berlangsung selama dua kali tujuh
hari tujuh malam (atau selama 14 hari 14 malam). Dalam upacara ini,
selain acara ritual seperti wara tujuh hari tujuh malam, juga ditambah
dengan acara penggalian makam, nguhau tulang (pencucian tulang
kerangka), penyemayaman tulang kerangka di kerangkeng (tempat suci)
dan diakhiri dengan pelepasan salimbat (rakit bambu) yang melukiskan
kepergian roh menuju syurga loka.

Banyak hal yang sangat menarik dalam rangkaian upacara adat ini.
Selain acara usik liyau, wara-nya sendiri berlangsung selama dua
minggu terus menerus. Dalam upacara ini ada acara newek kerewau atau
acara adu berani menikam kerbau yang merupakan klimaks dari rentetan
upacara ini.

Begitu menariknya upacara adat ini, biasanya yang datang bukan lagi
dari lingkungan satu desa atau desa tetangga. Tak jarang ada pula
penduduk dari kabupaten lain yang mengirimkan wakilnya untuk ikut adu
keberanian menikam kerbau.

Acara ini mirip dengan matador di Spanyol. Hanya bedanya melawan
kerbau, bukan Banteng. Menurut ketentuan adat, setiap peserta yang
mengalami cedera atau korban jiwa dalam pertarungan ini tidak dapat
menuntut jaminan -- kecuali sebuah piring porselen putih.

Biasanya peserta yang tampil di gelanggang adalah orang pilihan atau
yang memiliki kelebihan tertentu. Oleh karena itu sangat jarang ada
kasus korban jiwa dalam pertarungan melawan kerbau ini.

Upacara adat ini merupakan aset budaya Dayak di Kalimantan Tengah dan
merupakan salah satu dari sekian banyak upacara adat yang sangat
menarik dan perlu dilestarikan.

Sayangnya, kendati tidak kalah menariknya dengan ngaben di Bali atau
upacara serupa di Tana Toraja, upacara adat ini merupakan aset wisata
yang masih terpendam di Kalimantan Tengah

dayak tempudulue


Sukubangsa mi berdiam di daerah bagian hilir Sungai Barito dan anak-anaknya seperti sungai Patai, Telang, Karau dan Dayau; mulai dan Propinsi Kalimantan Tengah sampai ke wilayah Propinsi Kalimantan Selatan. Di Kalimantan Selatan mereka berdiam dalam wilayah Kabupaten Barito Timur dan Kawedanan Barito Selatan. Jumlah penduduknya sekitar 50.000 jiwa.

Sukubangsa mi mungkin berasal dan pesisir Kalimantan. Mereka memang memiliki beberapa kebiasaan seperti orang Dayak Dusun, yaitu menyukai ikan yang diperam dalam guci sehingga lembek (pakasan), mempunyai adat melobangi daun telinga, suka mengadu ayam setiap upacara kematian, suami tinggal di rumah pihak istri (uksorikal), dan pandai membuat perahu. Mata pencaharian utamanya adalah bercocok tanam padi, ubi-ubian dan buah-buahan di ladang. Sebagian ada yang bekerja sebagai pengumpul hasil hutan selain berburu dan menangkap ikan serta berkebun dan menyadap karet. Perkampungan orang Maanyan suka berpindah-pindah karena pengaruh sistem perladangan berpindah. Tempat tinggal sementara yang berdekatan dengan ladangnya mereka sebut batang rawi. Kelompok rumah yang sudah lebih permanen mereka sebut tumpungan (dusun)
Gabungan dan beberapa tumpungan membentuk sebuah perkampungan yang mereka sebut tumpuk. Setiap tumpuk ditandai antara lain oleh adanya lewu parci (lumbung) sebagai pelengkap rumah-rumah mereka. Prinsip garis keturunannya ambilineal, dimana untuk sebagian orang garis keturunan dihitung dan pihak ayah, sedangkan yang lain menyertakan garis keturunan dan pihak ibu. Bentuk perkawinan idealnya adalah antara dua sepupu yang kakeknya bersaudara kandung, sedangkan sepupu yang ayahnya bersaudara kandung dianggap tabu.